Jacksen pernah dibui karena perkelahian yang mengakibatkan lawannya terluka parah.
Semua pemain dan pelatih tunduk dan berdoa, seraya memegang ujung Merah Putih. Di luar ruang ganti, sorak-sorai 70 ribu penonton di Stadion Gelora Bung Karno terus menggema.
Atmosfer jelang pertandingan kualifikasi Piala Asia 2015 tersebut bertensi tinggi. Itu pertama kalinya Jacksen Ferreira Tiago memegang bendera Indonesia.
Situasi itu mengingatkannya ketika wajib militer di Angkatan Laut (AL) Brasil. Di situ ia mencium bendera Selecao. Panggilannya di militer adalah cromado, yang dalam bahasa Portugis berarti besi mengilat.
Malam itu, skuat Arab Saudi bungkam Indonesia. Tapi Jacksen tak kecewa. Di akhir tugasnya, ia ucapkan terima kasih kepada Rahmad Darmawan. “Saya bangga melatih Garuda,” kata Jacksen, yang kala itu asisten pelatih Timnas.
Momen itu adalah sepenggal hidup Jacksen yang diceritakan kepada Beritagar.id dalam pertemuan di sebuah kedai kopi Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Selasa siang (11/4/2017).
Ia tampak klimis. Cuma menyisakan sedikit janggut. Sebelumnya, ia memelihara berewok dan jarang menyentuh pisau cukur. “Untuk kebutuhan syuting,” kata Jacksen, merupakan bintang iklan produk kopi.
Bagi pencinta sepak bola, nama Jacksen begitu masyhur. Wajar, ia datang ke Tanah Air sejak 1994–ketika Liga Indonesia edisi perdana bergulir.
Saat itu, bersama Carlos de Mello dan Widodo S Putro, ia bawa Petrokimia Putera jadi juara dua liga. Di final, tim Jacksen dikalahkan Persib 0-1. “Kekalahan itu berbekas di kehidupan sepak bola saya. Ada yang bilang Petrokimia juara tanpa mahkota,” klaimnya.
Sepak bola selalu jadi bagian hidup Jacksen. Sejak usia tujuh ia sudah main di Flamengo bersama bintang ternama, seperti Leonardo, Aldair dan Serginho.
Dulu, Jacksen kecil adalah bintangnya dan teman-temannya itu main biasa saja. “Ya garis hidup, justru mereka yang jadi bintang,” kata dia.
Masa kecil Jacksen jauh dari ketenangan, tak seperti sekarang. Ia terjerat dari satu kekerasan ke kekerasan lainnya di Jacarezinho, Rio de Janeiro, Brasil.

Jacksen saat berusia 11 tahun.
Saban hari, ia berkelahi atau ikut “berperang” antar-kelompok geng. Meski begitu, ia tetap bisa main bola. Jika bertanding, Jacksen melakukan apa pun untuk menang, termasuk menggigit lawan mainnya. Moto dia saat itu: yang menang yang berkuasa.
Pada umur 13, Jacksen pernah masuk penjara anak karena perkelahian yang mengakibatkan lawannya terluka parah. Sang ibu, Cleuza Ferreira Tiago, menangis melihatnya mendekam di balik jeruji selama dua hari.
Kejadian itu jadi titik balik hidupnya. Ia tak tega lihat sang ibu meratapi kenakalannya. Kini, ia tak pernah mengawali hari tanpa menelepon ibunya, sang juru masak di sebuah bar. “Dia mengajari saya kejujuran,” ujarnya.
Selama hampir dua jam, Jacksen bicara kepada Heru Triyono dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo tentang perjalanan hidup. Mulai dari gaya melatih, ditipu agen dan kenapa pilih minggat dari Brasil saat cedera lututnya baru sembuh. Berikut narasinya:
Tersesat ke Indonesia
Jacksen mengaku tak memilih Indonesia. Itu “kecelakaan”. Pada 1994, ia dijanjikan main di Liga Malaysia oleh agen pemain bernama Angel Lonita. Ia berangkat bersama tujuh pemain Brasil lain.
Dari Rio de Janeiro, Jacksen naik pesawat ke Swiss karena janji jumpa Lonita di sana. Sayang, ia tak bisa tatap muka dengan agen itu. Petugas maskapai menyatakan ada nama Lonita di pesawat yang bertujuan ke Singapura.
“Kami pun nekat saja waktu itu terbang ke Singapura,” tutur Jacksen.
Di Singapura ia berhasil menemui Lonita. Tapi kabar tidak baik yang ia dapat. Dirinya dan teman-teman diberi tahu tak jadi main di Malaysia, melainkan Indonesia. Jacksen bingung dan kecewa.
Ia berpikir, perjalanan dari Brasil ke Singapura makan waktu 40 jam. Cukup lama untuk kembali. Sehingga ia pilih untuk coba main di Indonesia, sementara tiga pemain lain memutuskan pulang.
Jacksen ingat betul momen itu. Ia datang ke Jakarta dua hari sebelum Natal 1994. Jika pulang, pikirnya, juga percuma, karena Natal dan tahun baru sudah pasti terlewat. “Umur saya sudah 26, jadi terima saja dulu tawaran Lonita,” kisahnya.
Status Jacksen saat itu baru menikah dengan Fatima Coelho Tiago. Ia juga baru sembuh dari cedera lutut dan baru berlatih lagi selama tiga bulan.
Hingga akhirnya, PSSI menyebar Jacksen dan teman-temannya ke beberapa klub. Ia bersama Carlos de Mello ke Petrokimia Putra. Sisanya ada yang ke PKT Bontang, Mitra Surabaya dan Pelita Jaya.
Saat latihan perdana di klub, Jacksen terkejut. Kemampuan pemain Petrokimia di bawah dirinya dan Carlos. Sehingga keduanya tampak menonjol dan jadi pilihan pelatih Andi Ahmad.
Di Liga Indonesia 1, Jacksen membawa Petrokimia menempati posisi dua. Kalah dari Persib di final. Tandukannya yang menjebol gawang lawan dianulir wasit. Padahal, rekaman televisi menunjukkan posisi Jacksen tidak off side.
“Susah mengalahkan Pangeran Biru ketika itu,” tutur Jacksen.
Penampilan gemilang itu membuat Jacksen diincar banyak klub. Pada tahun-tahun berikutnya, namanya semakin besar bersama PSM Makassar dan Persebaya Surabaya hingga 1998.
Saat krisis ekonomi membayangi Indonesia, ia berkarier bersama klub China, Guangzhou Matsunichi dan klub Singapura, Geylang United hingga 1999.
Jacksen pun kembali ke Persebaya pada 1999. Karena merasa usianya tak lagi muda, ia memilih pensiun sebagai pesepak bola pada 2001 di Petrokimia, klub pertama sekaligus terakhirnya sebagai pemain di Indonesia.
Setelah itu, ia memutuskan untuk melanjutkan kariernya sebagai juru taktik.
Adalah Assyabab Surabaya, klub pertama yang menerimanya sebagai pelatih. Berikutnya ia membesut Persebaya, Persita Tangerang, Persiter Ternate, Persitara hingga Persipura Jayapura.
Titik terendah kariernya sebagai pelatih adalah ketika di Persitara. Meski sukses di Persebaya, Jacksen kesulitan di tim yang berbasis di Stadion Tugu Jakarta itu.
Ia berseberangan dengan manajemen soal bagaimana mereka membagikan uang ke pemain dengan cara yang ia tak suka. “Sangat tidak profesional,” katanya. Contohnya pemain disawer Rp50 ribu untuk bernyanyi di atas bus.
Jacksen pun depresi. Ia merasa diasingkan. Kapasitasnya sebagai pelatih mulai dipertanyakan. Bukan saja dari manajemen. Tetapi dari pemain dan dirinya sendiri.
Ia sempat berpikir mudik ke Brasil. Beruntung, ada telepon dari pihak Persipura yang menawarinya sebagai pelatih. Bagi Jacksen itu adalah jalan Tuhan. Ia bangkit dan mampu membawa Mutiara Hitam berprestasi.
Total, tiga trofi Indonesia Super League (ISL) yang dipersembahkan Jacksen untuk klub kebanggaan masyarakat Jayapura itu.
Kini Jacksen menangani Barito Putera yang berkiprah di GO-JEK Traveloka Liga 1 2017. Sebelumnya, ia berhasil membawa Penang FA sebagai runner-up Liga Premier Malaysia (LPM) 2015 dan promosi ke Liga Super Malaysia (LSM).
Masuk angkatan laut
Jacksen menunjukkan tiga tatonya. Di lengan kanan ada tato gambar manusia berpikir, seperti karya pemahat patung Yunani, Auguste Rodin.
Yang paling bermakna baginya adalah tato kuda laut di lengan kiri. Ia membuatnya di Bali pada 2007. Di tato itu ada tanggal ulang tahun ibunya, Cleuza Ferreira Tiago: 13 September, yang melingkar kecil membentuk huruf U di bawah tato utama.
Tato satunya lagi ia enggan menjelaskan. Ia berpesan dirinya bukanlah penjahat, karena di kalangan umum, ia masih anggap, punya tato sama dengan preman. “Saya sudah berubah, saya jadi orang baik lho,” ujarnya memamerkan deretan gigi putih.

Jacksen (kedua dari kiri) bersama keluarga.
Jacksen berkata begitu karena dia adalah mantan orang tidak baik. Kekerasan demi kekerasan mewarnai masa kecilnya. Ia hidup di lingkungan yang keras di kota Jacarezinho, Rio de Janeiro, Brazil.
Saban hari, ia berkelahi. Tapi ia selalu selamat dari pertarungan jalanan karena beking dari gangster yang suka datang ke bar milik ayahnya. Ketika keadaan berbahaya, maka para gangster itu mengingatkan dirinya untuk segera pergi.
Anak kecil di Jacarezinho cuma punya dua pilihan dalam hidup: main bola atau gabung gangster. Jacksen pada akhirnya memilih sepak bola. Sang ayah mendukungnya untuk seleksi dari klub satu ke klub lainnya sejak ia berusia 6.
Sementara teman-teman Jacksen banyak yang terlibat gangster. Banyak sekali temannya yang mati muda karena ditembak atau ditikam senjata tajam.
Meski berada di lingkungan yang keras Jacksen kecil tetap bisa bermain bola. Jika bertanding, Jacksen kerap kasar. Ia melakukan apapun untuk menang, termasuk menggigit lawan mainnya. Moto dia saat itu: yang menang yang berkuasa.
Sebenarnya cita-cita kecil Jacksen adalah menjadi marinir. Ia terkesima dengan gambaran sosok marinir yang tegap, wajah yang tak menunjukkan rasa takut, serta disiplin. Ia ingin sosok itu melekat dalam dirinya.
Tapi disiplin itu belum dimilikinya pas kecil. Ia bahkan pernah masuk penjara anak selama dua hari. Musababnya ia terlibat perkelahian yang mengakibatkan lawannya terluka parah–usai pulang main dari pantai. Selama enam bulan ia harus bolak-balik wajib lapor ke kantor polisi. “Kampung saya memang keras,” tuturnya.
Bertepatan dengan Piala Dunia 2014, ia sempat main ke kampung halamannya itu. Sejumlah teman main dulu menyambutnya hangat. Ada yang tidak percaya jika ia pernah melatih tim nasional Indonesia. “Saya dianggap sukses,” ujarnya.
Jacksen menelusuri gang-gang sempit di Jacarezinho. Nyaris tak satu pun kerabat yang luput ia kunjungi. Beberapa dari mereka kaget dirinya bisa keluar dari lingkungan yang keras di sana dan berhasil merantau ke luar negara.
Di Tanah Air, perlakuan terhadap Jacksen persis seperti di kampungnya. Ia merasa dihargai dan diperlakukan seperti pribumi, bukan orang asing. Semua respek dan menghargai kemampuannya. “Saya nyaman di Indonesia,” kata Jacksen.
Dus, cita-cita jadi marinir diwujudkan Jacksen usai lulus sekolah menengah atas. Ia ikut Wajib Militer (Wamil) di Angkatan Laut Brasil.
Panggilannya kala itu adalah cromado yang dalam bahasa Portugis berarti besi mengilat. Di sana, ia belajar membersihkan kapal laut, menembak dan disiplin. “Dipanggil cromado karena kulit saya hitam mengilat,” katanya.
Inspirasi Diego Simeone
Hanya tiga kali gigitan, sandwich itu habis. Padahal isinya rupa-rupa: daging asap, telur, keju, plus irisan tomat. “Saya belum sarapan ha-ha,” kata Jacksen saat wawancara. Lalu menyusul es kopi masuk ke mulutnya. Glek glek dan ludes.
Soal gigit menggigit Jacksen juaranya. Selain pernah gigit pemain lawan, ia juga suka gigit kukunya sendiri sampai habis. Sebab itu pelampiasannya adalah menggigit sedotan–agar kukunya tidak rusak.
Kebiasaan gigit sedotan dimulai sejak ia jadi pelatih di Klub Assyabaab. Satu pertandingan bisa habis tiga batang sedotan. Kini, jumlahnya bertambah. Seiring tuntutan klub barunya Barito Putera yang ingin bersaing di papan atas. “Bisa lima sedotan he-he.”
Sebagai pelatih, Jacksen banyak belajar dari almarhum Rusdy Bahalwan, Rudy Keltjes dan Indra Thohir. Ia belajar dari mereka bagaimana merangkul pemain dengan kejujuran. “Itu adalah kunci,” tuturnya.
Jacksen menganggap hidup pemain di luar lapangan juga penting. Ia tak pernah membebani pemain dengan hal yang aneh-aneh.
Baginya sudah cukup senang melihat pemain makan bersama pakai seragam dan datang latihan tepat waktu.
Jika melanggar, misalnya jika pemain mabuk saat latihan, ia akan menyuruhnya pergi. Tapi tidak dengan cara teriak-teriak. Itu yang ia terapkan ketika di Persipura dulu.
Ia memilih cara kekeluargaan karena ingin membuat sadar bahwa perbuatan mabuk itu merugikan tim. Menurutnya ikatan batin akan lebih dahsyat ketimbang teriak-teriak.
Sejujurnya, sewaktu jadi pemain, Jacksen juga pergi ke diskotik dan minum wine. Sampai sekarang ia lakukan. Tapi dalam konteks merayakan sesuatu bukan gaya hidup. “Saya ini di luar lapangan cair. Tapi kalau di dalam lapangan… (mengepalkan tangan), saya keras.”
Bagi Jacksen memotivasi pemain bukan hanya tentang kata-kata penyemangat. Memberi motivasi berarti meyakinkan pemain untuk memenangkan pertandingan, apapun kondisinya.
Jacksen merasa sama dengan pelatih Atletico Madrid Diego Simeone, yang bercerita banyak di buku biografinya, El Efecto Simeone : La Motivacion Como Estrategia. “Buku itu sedang saya baca,” tuturnya.
Simeone bisa meyakinkan pemainnya untuk selalu memberi kemampuan terbaik. Sama dengan Jacksen. Caranya adalah tidak memberikan jaminan posisi utama kepada pemainnya. Sehingga tercipta kompetisi yang baik.
Diakuinya, menjadi pelatih itu membuat stres. Karena itu Jacksen merasa cepat tua. Pasalnya usai pertandingan ia selalu berpikir ke depan, bagaimana menerapkan strategi pada pertandingan berikutnya. “Maka itu penghasilannya harus baik,” ujarnya, lantas tertawa.
Soal penghasilan, Jacksen cukup puas. Sebagai pelatih yang sudah punya nama ia mengaku gajinya di atas rata-rata. Dari melatih di Malaysia saja, dirinya bisa membeli apartemen sebanyak tiga unit di Brasil.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, gaji pelatih di Malaysia menurutnya jauh lebih tinggi. Bisa tiga kali lipat. Tetapi di Malaysia ia merasa sepi. Karena kultur kekeluargaannya kurang. Hubungan antara manajemen, pemain dan pelatih begitu kaku.
Berbeda dengan di Indonesia. Jacksen bisa makan bersama manajemen dan pemain dalam suasana santai. Sebab itulah ia begitu nyaman berkarier di Tanah Air. “Saya mengeluarkan air mata bahagia dan duka di sini (Indonesia),” ujarnya.
Meski lama berkarier di sini, tak membuat Jacksen mau pindah kewarganegaraan. Ia mengaku cinta dengan Brasil dan itu adalah akar hidupnya yang tidak bisa ditawar.
Alasan lain adalah dukungan sang bunda yang selalu ia terima mulai dari awal karier hingga kini menjadi pelatih top di Indonesia. “Saya tidak mungkin mengkhianati Ibu,” kata ayah dua anak ini.
Panggilan boarding untuk penumpang pesawat ke Banjarmasin pun berkumandang. Jacksen bergegas, kemudian melayangkan tos kepalan tangan kepada kami. Sampai jumpa kembali Bigman !